TUJUAN – Suatu pagi yang cerah di Bali, Adi, Budi dan Udin sedang bersantai di bawah pohon pisang dekat Pantai Kuta. Perbincangan santai mereka seakan diiringi suara deburan ombak yang sedikit lebih istimewa hari ini karena…wisatawan asing mulai berdatangan lagi ke Bali! “Br, tahukah kamu? Jalanan ini makin ramai dengan adanya pasar malam,” kata Adi, seorang tukang ojek online yang terbiasa menerobos kemacetan sambil membawa pesanan nasi jinggo. “Di sini lagi banyak turis! Tapi ya, macet, oh…” “Iya, macet itu seperti hubungan dengan mantan, tidak ada jalan keluarnya,” kata Budi, seorang sopir taksi yang selalu merupakan lelucon segar. “Tapi nggak apa-apa gan, orderan taksinya lancar. Bule suka taksi, AC-nya dingin.” “Hei, uang juga bagus, kan?” tanya Adi menaikkan alisnya penasaran. “Wah, bagus sekali tipsnya kawan!” Budi menunjukkan deretan gigi putihnya. “Tapi aku masih pusing di lalu lintas. Bule santai saja, tapi aku yang stres menunggu lampu merah yang memakan waktu lebih lama daripada menyelesaikan skripsi!” Mereka tertawa bersama hingga tiba-tiba Udin, sang pembuat jubah, ikut duduk manis seiring goyangan gerobak. “Eh, jangan salah sangka ya? Cycloxku juga lebih laris!” Udin berkata dengan bangga sambil menggebrak keretanya. “Orang bule itu abang, jelas-jelas suka cilok! Tadinya kukira mereka nggak suka makanan yang seperti itu lho, mereka suka.” “Benarkah, Dekan?” Budi yang penasaran langsung berbalik. “Menjual bayimu kepada orang asing? Kamu tidak menyangka! Apakah mereka baik-baik saja?” “Hei, jangan remehkan cewekku!” Udin tersenyum penuh kemenangan. “Cilok ini bukan hanya enak dipandang mata, tapi juga eksotik. Setidaknya mereka suka mencobanya. Kemarin ada orang asing yang bilang cilok itu ‘bakso pedas’. Bagaimana? Elegan bukan?” Adi dan Budi hampir tertawa melihat ekspresi baru itu. “Wah, cilok dipromosikan jadi fine dining Din! Nanti aku mau buka franchise di Paris,” kata Adi sambil memegangi perutnya yang tak kuasa menahan tawa. Siapa tahu cyclocross-ku bisa internasional,” kata Udin sambil memandang keretanya dengan tatapan penuh ambisi. “Tapi tetap saja kemacetan menyulitkan untuk mendorong gerobak-gerobak ini. Ibarat parade gerobak cilok karena lama sekali.” Budi pun menjawab, “Hahaha, kemacetan di Bali ibarat level terakhir dari permainan. Sulit sekali untuk dilewati.” “Tepat sekali. Tapi macet atau tidak, yang penting rejekimu lancar,” Adi mengangguk bijak. “Wisatawan semakin banyak, pesanan pun menumpuk. Meski saya sering merasa seperti ninja yang zig-zag menerobos kemacetan.” “Iya, keberuntungan itu penting,” tambah Budi. “Lagipula orang asing itu baik mas. Kalau kita tersenyum sedikit, mereka akan langsung memberi kita tip besar. Kadang lebih dari harga satu meter!” “Wah, berarti kamu harusnya senyum-senyum aja dan dapat bayaran ya?” Udin tertawa lebar. “Juga sering dapat uang tambahan. Kadang mereka kurang paham cara makan cilok dengan tusuk sate, yasudah, bungkus ciloknya, saya dapat bonus.” Adi dan Budi tak kuasa menahan tawa ketika mendengar cerita Udin yang selalu penuh keajaiban kecil dalam dunia street cooking. “Cilok bule! Kamu keren banget Din. Mungkin ada yang ngajak kamu buka restoran internasional dengan cilok, haha!” “Amin saja, adik kecil!” Udin kembali menabrak gerobak, kali ini lebih semangat. – Siapa yang benar-benar tahu! Ketiganya kembali tertawa menikmati pagi hari di Bali yang mulai kembali ramai dikunjungi wisatawan. Meski kemacetan masih menjadi musuh lama mereka, namun semangat mereka tak pernah pudar. Leluconnya macam-macam, mulai dari cilok kesukaan orang bule hingga tips-tips senyum ramahnya. “Ayo kita terus mencari kebahagiaan yang lebih,” kata Adi sambil berdiri, sepeda motor sudah siap. “Siapa tahu, mungkin ada orang asing yang akan menemanimu makan cilok!” Dan dengan itu, ketiganya kembali mengejar kebahagiaan dengan senyuman di wajah dan semangat yang tak ada habisnya saat menghadapi hari-hari penting di Bali yang penuh cerita. (Hendry Kampai)
Leave a Reply