KAMBANG – Bayangkan sebuah desa yang dihiasi pohon durian tinggi berwarna hijau, dedaunannya bergoyang lembut tertiup angin pagi. Di sinilah, di Desa Akad, Kambang, Lengayang, Pesisir Selatan, Sumatera Barat, setiap musim durian tiba, kehidupan semakin semarak. Desa kecil ini seolah berubah menjadi pesta yang meriah, penuh sejarah, aroma dan tawa. Ketika durian mulai berguguran dari pohon tua yang telah berdiri kokoh selama puluhan tahun, penduduk desa sibuk menyambut panen. “Tuli!” Suara khas buah durian yang jatuh ke tanah hampir setiap kali terdengar menandakan keberuntungan yang tak pernah ingkar janji. Anak-anak berlarian penuh semangat, memungut durian yang baru jatuh, membawanya pulang sambil tertawa-tawa menggemaskan. Pagi yang Sibuk Saat matahari belum tinggi, para wanita Desa Akkad sudah sibuk di dapur. Aroma khas kopi Kambang bercampur dengan aroma kulit durian yang baru dibuka tercium di udara. Para bapak-bapak biasanya memetik durian di bawah pohon tinggi di tepian sungai kecil yang mengalir. Namun mereka pandai membuka durian, memperlihatkan daging buahnya yang berwarna kuning keemasan, menggoda siapa pun yang melihatnya. Di setiap sudut desa membicarakan kualitas durian tahun ini. Ada yang bilang durian Kampung Akad tahun ini lebih enak dari biasanya, dengan rasa manis yang pas dan sedikit pahit. “Durian ini adalah durian nenek moyang kita, rasanya tidak pernah mengecewakan,” kata seorang tetua desa dengan bangga. Pasar Durian di Kampung Tengah Sore hari, pasar durian darurat mulai ramai. Para pendatang dari luar desa bahkan dari kota Padang atau Painan berbondong-bondong mencoba durian Kampung Akad yang terkenal dengan rasa dan aromanya yang nikmat. Di pasar ini, tidak hanya durian segar yang dijual. Ada dodol durian, lempok, dan ketan durian yang menjadi hidangan wajib saat musim tiba. “Coba dulu Bu, durian ini manis sekali, berasal dari pohon belakang rumah saya!” kata ibu kepada seorang pembeli sambil menawarkan durian dengan kulit segar, liturgis. Ritual Malam: Durian dan Sejarah Saat malam tiba, suasana semakin magis. Di bawah pohon durian yang diterangi lampu-lampu kecil, penduduk desa berkumpul. Anak-anak duduk melingkar mendengarkan cerita orang tuanya tentang pohon durian pertama yang ditanam nenek moyang mereka. Pohonnya kini sudah sangat tua, namun mereka masih setia menghasilkan buah. Cerita tersebar dari mulut ke mulut, mulai dari cerita pohon durian keramat hingga cerita lucu durian jatuh menimpa kepala seseorang saat hendak memanjat pohon. Gelak tawa dan aroma durian menyatu menjadi kenangan yang sulit untuk dilupakan. Akhir musim yang penuh harapan Menjelang berakhirnya musim durian, ada perasaan campur aduk di hati warga Desa Akad. Senang karena durian membawa keberuntungan, namun juga sedikit sedih karena suasana hangat semakin berkurang. Namun pohon durian di desa ini tetap menjadi saksi sejarah dan kehidupannya, menunggu musim berikutnya untuk kembali mempersatukan warga dalam perayaan yang tak tergantikan. Bagi masyarakat Desa Akad, durian bukan sekadar buah-buahan. Itu adalah warisan, sejarah dan ikatan persaudaraan. Ketika musim durian tiba, Kampung Akad bukan sekedar desa kecil di pesisir selatan, melainkan menjadi pusat kebahagiaan, tempat menyatunya tradisi, cita rasa, dan sejarah. (Hendry Kampai)
Leave a Reply