Soal Aturan Rokok, Kemenperin Soroti soal Ribuan Industri Penyerap Banyak Tenaga Kerja

 

PF Media, Jakarta Sejumlah kementerian mengindikasikan tidak terlibat dalam penyusunan kebijakan kemasan rokok polos tanpa merek dalam Proyek Peraturan Menteri Kesehatan (RMPK) yang merupakan turunan dari PP Nomor 28 Tahun 2024 yang digagas oleh Menteri Kesehatan. Budi Gunadi Sadikin.

Hal ini menimbulkan polemik dan kritik dari berbagai kelompok kepentingan lain karena pengaturan ini banyak membawa dampak negatif.

Kementerian/lembaga yang tidak terlibat dalam pembahasan rancangan peraturan ini antara lain Kementerian Perindustrian, Kementerian Perdagangan, dan Kementerian Pariwisata dan Industri Kreatif. Di sisi lain, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia juga menegaskan proses tersebut terlalu terburu-buru mengingat banyaknya masukan dari pihak-pihak terdampak yang belum dipertimbangkan.

Merrijantij Punguan Pintaria, Direktur Industri Minuman, Produk Tembakau, dan Penyegar Kementerian Perindustrian (Kemenperin), menekankan pentingnya melibatkan seluruh pemangku kepentingan dalam pembahasan kebijakan. Ia berharap RPMK dapat dibahas kembali dengan partisipasi semua pihak.

“Kebijakan tidak bisa menyenangkan semua orang, tapi harus bisa mencapai konsensus yang berarti,” ujarnya.

Merri, begitu ia disapa, menegaskan, peran serta Kementerian Perindustrian perlu dituntut dalam penerapan standarisasi kemasan dan desain produk tembakau. Sayangnya Kementerian Perindustrian tidak menghadiri rapat dengar pendapat Kementerian Kesehatan yang menunjukkan adanya pengawasan.

“Ini adalah peristiwa yang berulang dan kami berharap dapat berpartisipasi dalam diskusi kebijakan yang berdampak besar pada industri kami,” ujarnya.

Ia menegaskan, arahan RPMK tentang kemasan rokok polos tanpa merek harus dicermati dengan cermat dan perlu diperhatikan dampaknya terhadap perekonomian nasional dan masyarakat secara keseluruhan, khususnya industri tembakau.

“Kita semua sepakat untuk menciptakan masyarakat yang sehat, namun kita juga harus memperhitungkan keberadaan lebih dari 1.300 industri yang mempekerjakan sekitar 537.000 orang,” ujarnya.

 

Angga Handian Putra, Ahli Madya Trade Negosiator Kementerian Perdagangan dan Perindustrian (Kamandağ) juga menegaskan, pihaknya tidak terlibat secara resmi dalam pembentukan RPMK. Ia percaya bahwa kemasan rokok biasa dan tidak bermerek dapat mempengaruhi hak-hak pengusaha, pengecer, dan perdagangan internasional.

“Kemasan rokok biasa tanpa merek dapat mengganggu perdagangan dan mempengaruhi hak-hak pengecer,” ujarnya.

Pihaknya juga berpendapat bahwa diperlukan penelitian ilmiah lebih lanjut mengenai upaya penurunan prevalensi merokok melalui kebijakan kemasan rokok polos tidak bermerek yang mengacu pada Framework Convention on Tobacco Control (FCTC). Namun, hal ini tidak terkait dengan besarnya konsumsi energi di industri tembakau dalam negeri.

“Kita memerlukan penelitian ilmiah untuk membuktikan efektivitas kebijakan ini. Struktur perdagangan Indonesia berbeda dengan negara lain,” kata Angqa.

Mengingat potensi dampak buruknya, Departemen Perdagangan berjanji untuk memberikan informasi mengenai kebijakan ini kepada Departemen Kesehatan. Angqa menjelaskan, pihaknya akan terus berkomunikasi dengan unit terkait di Kementerian Kesehatan dan mengikuti informasi terkini melalui dokumen yang tersedia di situs resmi.

Dalam kesempatan lain, Syaifullah Agam, Direktur Manajemen Industri Kementerian Pariwisata dan Industri Kreatif RI, mengamini pentingnya menyuarakan pendapat berbagai pemangku kepentingan, baik yang mendukung maupun menentang. Kalaupun banyak pihak yang merasa tidak enak dengan suatu kebijakan, namun sudah menjadi tugas pemerintah untuk mencari solusinya. Syaiful juga prihatin dengan keberlangsungan industri kreatif yang sangat terdampak dengan serangkaian peraturan Kementerian Kesehatan.

“Konsultasi publik dengan partisipasi berbagai pihak dalam menentukan kebijakan untuk mengatur masyarakat dan kemajuan telah dicapai. Penting untuk melibatkan semua pihak,” ujarnya.

 

Syaiful juga menyoroti dampak penggunaan kemasan rokok polos tanpa merek yang berdampak pada peningkatan produk haram. Padahal, menurutnya, membangun citra produk dengan investasi besar sulit dilakukan.

“Kita perlu menemukan solusi yang nyaman bagi semua orang yang terlibat. Sebab, seperti saya katakan, tujuannya bukan untuk membatasi kesehatan masyarakat, tapi untuk mempromosikannya. Sebab jika sampai terjadi maka yang terjadi akan merugikan banyak pihak. “Hal ini dapat dicapai melalui komunikasi dan menjajaki peluang yang dapat dimanfaatkan,” ujarnya.

Sementara itu, Direktur Harmonisasi Regulasi Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) Roria menegaskan, pengesahan arahan kemasan rokok polos tanpa merek di RPMK terkesan wajib. Oleh karena itu, dia mengamini bahwa masyarakat yang terkena dampak memiliki banyak keinginan yang tidak tercakup dalam aturan tersebut.

Ia meyakinkan, RPMK akan terus menerima kritik dan saran dari semua pihak terkait proses penyusunan pedoman kemasan rokok polos tanpa merek. “Pada prinsipnya kita bisa memahami maksud dari undang-undang tersebut, yaitu ketika ada warga negara yang dirugikan maka perlu dilakukan pengecekan apakah semua aspek sudah dipatuhi,” ujarnya.

 

Roria juga mengatakan penyusunan PP 28/2024 memakan waktu yang cukup lama karena besarnya kontribusi para pemangku kepentingan di industri tembakau. “Ini bukan soal kecepatan, ini soal apakah semua aspek sudah selesai?” “Bagi PP Kesehatan, salah satunya adalah ‘surat cinta’ dari pemangku kepentingan industri tembakau,” jelasnya.

Di sisi lain, Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular (P2PTM) Kementerian Kesehatan Benget Saragih tak memungkiri minimnya partisipasi dalam penyusunan aturan tersebut. Dalam kasus seperti itu, Kementerian Kesehatan tetap melanjutkan kedua proses kebijakan tersebut dengan penuh polemik, meski kerap mendapat perlawanan dari berbagai pihak, termasuk sejumlah kementerian terkait.

Adapun kelalaian sejumlah kementerian terkait atas apa yang dianggap sudah menyerah, lanjut Kemenkes, jelasnya.

Ia mengatakan dalam pembelaannya bahwa RPMK bertujuan untuk mengajarkan anak-anak untuk tidak merokok, bukan untuk membuat masyarakat berhenti merokok. Larangan peringatan merokok memang menjadi kendala, namun Indonesia kalah dalam hal ini, ujarnya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *